Keutamaan Puasa Asyura, Muharram dan Ramadhan
Bersama Pemateri :
Syaikh `Abdurrazzaq bin `Abdil Muhsin Al-Badr
Keutamaan Puasa Asyura, Muharram dan Ramadhan adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Kifayatul Muta’abbid wa Tuhfatul Mutazahhid. Pembahasan ini disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr pada 28 Shafar 1441 H / 27 Oktober 2019 M.
Download mp3 kajian sebelumnya: Keutamaan Puasa
Kajian Islam Ilmiah Tentang Keutamaan Puasa Muharram
Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
“Puasa yang paling afdhal/puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram.” (HR. Muslim)
Ketika penulis kitab ini Rahimahullah berbicara tentang keutamaan-keutamaan puasa secara umum, beliau memulai dengan menyebutkan keutamaan puasa sunnah dan keutamaan puasa-puasa tersebut bertingkat-tingkat. Karena puasa puasa tersebut keutamanya tidak sama, akan tetapi sebagian lebih utama/lebih afdhal daripada sebagian yang lain.
Dan puasa yang paling besar keutamanya adalah puasa Ramadhan. Karena tidak seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah melebihi apa yang Allah wajibkan kepada mereka. Sebagaimana dalam hadits qudsi dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata menceritakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Dan tidaklah hambaKu mendekat kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan atasnya, dan hambaKu senantiasa mendekat kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunnah sampai Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)
Dan puasa An-Nafl adalah puasa sunnah/puasa tathawwu’, yaitu puasa yang tidak wajib. Banyak sekali jenis-jenis puasa yang tidak wajib tersebut. Diantaranya ada yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu dalam setiap minggu, juga ada puasa yang disunnahkan pada hari-hari tertentu dalam setiap tahun.
Namun kedudukan atau nilai keutamaan puasa-puasa sunnah tersebut berbeda-beda. Sebagian lebih afdhal dari sebagian yang lain. Dan penulis kitab ini memulai dengan keutamaan puasa bulan Muharram. Dan beliau menyebutkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu yang mana dalam hadits tersebut dijelaskan bahwasannya puasa pada bulan Allah Muharram adalah puasa sunnah yang paling afdhal. Sebagaimana shalat malam adalah shalat yang paling utama setelah shalat wajib.
Bulan Muharram ini tidak disunnahkan untuk seseorang berpuasa penuh pada bulan tersebut. Akan tetapi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, beliau mengatakan:
وَمَا رَأَيْتُهُ صَامَ شَهْرًا كَامِلًا، مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَمَضَانَ
“Aku tidak pernah melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam puasa satu bulan penuh sejak beliau datang ke Madinah kecuali pada bulan Ramadhan.” (HR. Muslim)
Namun bulan Muharram disunnahkan seorang untuk memperbanyak puasa pada bulan tersebut. Karena puasa pada bulan Muharram adalah puasa yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala setelah puasa Ramadhan.
Keutamaan Puasa Asyura
Penulis kitab ini Rahimahullah melanjutkan dengan bab yang berkaitan dengan keutaman puasa Asyura. Sahabat Abdullah bin Abbas ditanya tentang keutamaan puasa hari Asyura, maka beliau mengatakan:
مَا عَلِمْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَ يَوْمًا يَطْلُبُ فَضْلَهُ عَلَى الْأَيَّامِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ وَلَا شَهْرًا إِلَّا هَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي رَمَضَانَ
“Aku tidak mengetahui bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencari keutamaan satu hari melebihi keutamaan puasa pada hari ini (yaitu hari Asyura) dan tidak pula bulan tertentu (yaitu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berusaha mencari keutamaan puasa pada bulan tertentu) melebihi bulan ini, yakni bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penulis kitab ini Rahimahullah menjelaskan tentang keutamaan puasa Asyura yaitu puasa pada hari kesepuluh dari bulan Muharram. Dan puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat besar, pahala yang sangat agung, dan tujuan berpuasa pada hari ini yaitu dalam rangka mensyukuri Allah ‘Azza wa Jalla dikarenakan Allah ‘Azza wa Jalla menyelamatkan pada hari yang agung tersebut Musa dan kaumnya dan Allah membinasakan Firaun dan tentaranya pada hari tersebut.
Allah membinasakan Firaun dan tentaranya, padahal jumlah mereka sangat banyak, persiapan mereka sangat luar biasa, akan tetapi Allah membinasakan mereka sekaligus Allah menenggelamkannya mereka semua. Maka Nabi Musa pun berpuasa pada hari tersebut dalam rangka mensyukuri Allah ‘Azza wa Jalla. Kemudian Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga berpuasa pada hari tersebut dalam rangka mensyukuri Allah ‘Azza wa Jalla.
Maka puasa pada hari Asyura adalah bentuk kesyukuran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat yang sangat besar ini dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصُومُوهُ.
“Kami lebih berhak dari terhadap Musa dari mereka maka berpuasalah pada hari tersebut.” (HR. Bukhari)
Maksudnya adalah kita lebih berhak terhadap Musa daripada orang Yahudi.
Perkataan sahabat Abdullah Ibnu Abbas bahwasanya beliau tidak mengetahui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencari keutamaan puasa pada suatu hari melebihi pada hari ini (hari Asyura). Ini menunjukkan besarnya keutamaan puasa pada hari ini. Dan juga ada hadits-hadits lainnya menunjukkan keutamaan puasa hari Asyura, yaitu diantaranya sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
لَئِنْ بَقِيتُ إِلى قَابِلٍ لأصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Jika aku masih hidup sampai tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada hari ke-9.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yaitu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berniat untuk berpuasa pada hari ke-9 dan ke-10 di bulan Muharram.
Adapun puasa hari ke-10 karena keutamaan puasa pada hari ke-10 yaitu sebagai bentuk syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan puasa pada hari ke-9 sebagai bentuk penyelisihan terhadap orang Yahudi.
Penulis kitab ini Rahimahullah mengatakan sahabat Abu Qatadah Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang puasa pada hari tersebut, kemudian beliau menyebutkan haditsnya sampai perkataan beliau, “kemudian juga Rasulullah ditanya tentang pahala puasa pada hari ke-10, beliau menjawab:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
‘Puasa tersebut akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.`” (HR. Muslim)
Penjelasan Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr
Penulis kitab ini Rahimahullah menyebutkan hadits sahabat Abu Qatadah Radhiyallahu ‘Anhu dan hadits ini akan kita sebutkan secara sempurna. Namun penulis kitab ini mencukupkan penyebutan hadits ini hanya intinya saja. Yaitu keutamaan puasa hari Asyura.
Dan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika ditanya tentang keutamaan puasa pada hari tersebut beliau mengatakan:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Puasa tersebut akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)
Yaitu keutamaan pada hari ini akan menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan setahun yang lalu dan tentu yang dimaksud dengan dosa-dosa di sini adalah dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa besar. Karena apabila dosa besar, seorang harus bertaubat dari dosa tersebut. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الصَّلَاةُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ، مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, hari jum’at atau jum’at berikutnya, dan dari satu Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, selama dosa-dosa besar ditinggalkan.” (HR. Muslim)
Dan telah diketahui bahwasanya puasa Ramadhan lebih utama daripada puasa sunnah. Namun dengan besarnya puasa Ramadhan, itu tidak menghapuskan dosa-dosa besar. Kecuali apabila dosa-dosa besar tersebut ditinggalkan, maka ia akan menghapuskan dosa-dosa kecil. Karena dosa-dosa besar, seorang harus bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Keutamaan Puasa Bulan Sya’ban
‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa sampai kami mengatakan,:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يَصُومُ، وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ في شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ
“Rasulullah berpuasa terus dan beliau tidak berpuasa sampai kami mengatakan beliau hampir tidak pernah berpuasa, dan aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali Ramadhan, dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak daripada puasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim, Ummul mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha mengatakan:
وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa satu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban, bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hampir puasa pada bulan Sya’ban sebulan penuh, beliau berpuasa pada bulan Sya’ban kecuali sedikit.” (HR. Muslim)
Penjelasan Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr
Penulis kitab ini Rahimahullah menjelaskan tentang keutamaan puasa pada bulan Sya’ban. Yaitu bulan sebelum bulan Ramadhan. Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dahulu memperbanyak puasa pada bulan tersebut.
Perkataan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يَصُومُ،
“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika berpuasa kami menyangka bahwa dia terus berpuasa dan apabila tidak berpuasa maka kami menyangka beliau hampir tidak pernah berpuasa,”
Ini adalah isyarat dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam puasa dan buka puasanya seimbang. Yaitu apabila beliau berpuasa, orang-orang menyangka bahwasanya beliau jarang berbuka. Dan apabila beliau tidak berpuasa, maka orang-orang menyangka bahwasanya beliau jarang berpuasa. Hal ini sama dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika ada orang-orang yang menganggap sedikit ibadah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau mengatakan:
لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ
“Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yaitu bahwasanya puasa dan berbukanya Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seimbang.
Perkataan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha:
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Dahulu beliau berpuasa pada seluruh hari di bulan Sya’ban.”
Ini menunjukkan banyaknya hari-hari yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam puasa pada bulan Sya’ban.
Perkataan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha:
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا
“Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa pada bulan Sya’ban kecuali sedikit.” maksudnya adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan sebagian atau sebagian kecil hari-hari di bulan Sya’ban dan boleh tidak berpuasa pada hari-hari tersebut. Karena beliau tidak pernah puasa sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan.
Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits yang telah kita sebutkan tadi. Yaitu bahwasanya puasa yang paling afdhal setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram. Karena banyaknya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa pada bulan Sya’ban ini tidak bertentangan dengan bahwasanya puasa yang paling afdhal setelah Ramadhan adalah puasa Muharram. Dan para ulama menyebutkan bagaimana menggabungkan antara dua hadits ini, di antaranya adalah Imam An-Nawawi Rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim beliau menyebutkan bahwa ada dua kemungkinan; yang pertama kemungkinan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam belum mengetahui keutamaan yang berkaitan dengan puasa Muharram, kemudian setelah itu beliau diberitahu setelah beliau memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban. Kemungkinan kedua yaitu dimungkinkan ada penghalang yang menghalangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk berpuasa atau memperbanyak puasa pada bulan Muharram yaitu seperti jihad atau mungkin sakit atau ada sebab lain yang tidak memungkinkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram. Akan tetapi beliau mengabarkan bahwasanya puasa pada bulan Muharram adalah puasa yang paling afdhal setelah puasa Ramadhan.
Penulis kitab ini Rahimahullah mengatakan: Dan sahabat ‘Amran bin Husain Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada seseorang:
هَلْ صُمْتَ مِنْ سُرَرِ هَذَا الشَّهْرِ شَيْئًا؟ « يَعْنِي شَعْبَانَ قَالَ : لا. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلي الله عليه وسلم : « فَإِذَا أَفْطَرْتَ مِنْ رَمَضَانَ فَصُمْ يَوْمَيْنِ مَكَانَهُ
“Apakah engkau puasa di akhir bulan ini?” Orang itu mengatakan, “Tidak” maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan kepadanya, Jika engkau telah selesai puasa Ramadhan, maka puasalah dua hari untuk mengganti hari tersebut.”
Penulis kitab ini Rahimahullah menyebutkan hadits ‘Amran bin Husain Radhiyallahu ‘Anhu, dan hadit ini juga berkaitan dengan keutamaan puasa Sya’ban. Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengatakan kepada seseorang, “Apakah kamu puasa di akhir bulan ini?”.
Dan yang dimaksud سُرَرِ الشَّهْرِ yaitu akhir bulan. Dan kita ketahui bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam justru melarang untuk seseorang berpuasa mendahului Ramadhan sehari atau dua hari. Dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beliau mengatakan:
لاَ يتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكمْ رَمَضَانَ بِصَومِ يومٍ أَوْ يومَيْنِ، إِلاَّ أَن يَكونَ رَجُلٌ كَانَ يصُومُ صَوْمَهُ، فَلْيَصُمْ ذلكَ اليوْمَ
“Janganlah seorang diantara kalian mendahului puasa Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya, kecuali orang yang mempunyai kebiasaan berpuasa pada hari-hari tertentu maka hendaklah dia puasa pada hari tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Larangan ini berkaitan dengan seorang yang ingin berhati-hati sehingga dia mendahului puasa Ramadhan sehari atau dua hari. Adapun orang yang mempunyai kebiasaan berpuasa, seperti seorang yang punya kebiasaan berpuasa setiap hari senin dan ternyata hari senin itu bersamaan dengan akhir dari bulan Sya’ban atau seseorang yang kebiasaannya memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, maka orang tersebut diperbolehkan untuk berpuasa di akhir bulan Sya’ban. Yang dilarang adalah orang yang berpuasa di akhir bulan Sya’ban karena hati-hati agar jangan sampai Ramadhan sudah masuk, maka ini tidak diperbolehkan dan bertentangan dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
فَإِذَا أَفْطَرْتَ مِنْ رَمَضَانَ فَصُمْ يَوْمَيْنِ مَكَانَهُ
“Jika engkau telah selesai puasa Ramadhan maka berpuasalah dua hari untuk mengganti hari tersebut.”
Para ulama mengambil faedah dari hadits ini bahwasanya disyariatkan mengqadha puasa sunnah jika seseorang meninggalkannya dan tidak sempat untuk melaksanakan puasa sunnah tersebut. Dan para ulama Rahimahumullah menyebutkan bahwasanya hadits ini ditujukan untuk orang yang mempunyai kebiasaan berpuasa. Dan bahwasanya bagi orang yang mempunyai kebiasaan untuk berpuasa pada hari tersebut kemudian dia tinggalkan pada hari itu maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberinya petunjuk agar ia mengqadha puasa yang ia tinggalkan. Karena ia telah terbiasa berpuasa pada hari tersebut dan qadhanya dilakukan setelah bulan Ramadhan agar ia senantiasa atau terus-menerus melakukan apa yang ia telah terbiasa lakukan dari ibadah-ibadah sunnah.
Simak pada menit ke-30:53
Downlod MP3 Ceramah Agama Tentang Keutamaan Puasa Muharram, Syaban dan Ramadhan
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/47940-keutamaan-puasa-asyura-muharram-dan-ramadhan/